Istimewa |
Memperingati Hari Pers Nasional (HPN) Tahun 2024, kali ini, Saya tergelitik untuk menulis opini publik sebagai (anggap saja) hadiah spesial untuk diri sendiri dan rekan sejawat: para pegiat jurnalisme di manapun berada. Temanya adalah evaluasi marwah profesi, harga diri dan elegansi sebuah hubungan dengan para mitra pers.
Kenapa tema itu Saya anggap menarik? Sebab, pasca meletusnya reformasi pada era 1998 lalu, yang artinya sudah lebih 25 tahun, pers semestinya sudah menghirup udara kemerdekaan dalam berekspresi dan memproduksi karya jurnalistik dengan bebas, tanpa tekanan, tanpa rasa ketakutan akan ancaman-ancaman. Namun begitu, disadari atau tidak – mau diakui atau tidak -- sesungguhnya pers yang bebas merdeka, belum sepenuhnya bisa dirasakan secara hakiki.
Ya, memang tak banyak lagi intaian marabahaya yang terlihat kasat mata akibat pemberitaan, seperti di era orde baru. Namun, sesungguhnya kita – para wartawan – ternyata masih saja dikungkung oleh banyak pihak. Kita masih berputar-putar dikendalikan oleh beragam kepentingan: pusaran bisnis, politik, kekuasaan, popularitas, dll.
Di momentum tahun politik seperti saat ini contohnya, ada banyak sekali conflict of interest (konflik kepentingan). Orang-orang yang kerap bersembunyi di balik rasa simpatiknya, di belakang narasi ingin membangun dunia pers lebih baik. Justru tak jarang menyimpan niat jahat, ingin mencederai pers yang berintegritas, dengan cara menancapkan kuku kewenangan, lalu mengendalikan media massa sesuai ingin dan kepentingan.
Dan bodohnya pula, para wartawan bahkan pemilik media yang kadangkala sesungguhnya sadar akan hal itu, justru sepakat untuk ‘menghambakan diri’. Alasan yang paling ingin dimengerti dan dipandang sangat manusiawi adalah soal sisi bisnis media belaka: Wartawan, pemilik media butuh uang dan keuntungan. Keuntungan disebut akan menjamin keberlanjutan nyawa mereka dan medianya.
Pasca Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers disahkan, atau usai lengsernya rezim Orde Baru pula, perusahaan media bertumbuh sangat pesat secara kuantitas. Saya sering menyebutnya, bak ‘cendawan di musim penghujan’. Hal itu, lalu kian diramaikan dengan munculnya platform baru yakni media online. Konvergensi media!
Semua orang berduyun-duyung mendirikan perusahaan pers, lalu menerbitkan media massa bermacam jenis. Terutama media online yang ‘low cost’, simpel, dan praktis pengelolaannya. Tak hanya seorang redaktur, wartawan senior, junior, bahkan loper koran pun bisa punya media sendiri. Ia yang tadinya jadi anak buah, kini sekejap menjelma menjadi seorang CEO, owner sebuah media massa.
Maka, jangan tanya soal kualitas. Sudah sangat lumrah di sebuah perusahaan media era ini ada istilah ‘single fighter’ atau ‘one man show’. Dia tak hanya seorang Direktur perusahaan, tapi juga seorang wartawan, redaktur, admin, bagian IT, sekaligus marketing.
Belum lagi bila kita mau tengok background akademiknya. Tak sedikit pula single fighter tadi hanyalah seorang lulusan pendidikan formal level dasar saja. Tanpa nilai tambah pengalaman di dunia jurnalisme yang memadai, tidaklah bisa kita berharap banyak, karya pers yang diproduksi akan memenuhi ekspektasi publik sebagaimana mestinya.
Tanpa bermaksud mendiskreditkan rekan sejawat yang demikian, melainkan hanyalah sebuah evaluasi guna instropeksi kalangan sendiri, Saya hanya ingin mengatakan, bahwa hal ini turut menjadi faktor, mengapa media massa begitu mudah dikendalikan, diintervensi oleh oknum untuk memenuhi syahwat kepentingannya.
Maka, di moment ‘hari raya-nya’ insan pers ini, HPN 2024 yang diperingati pada 9 Februari 2024, Saya ingin secara tegas mengajak sejawat pegiat pers, jangan mau diintervensi! Menjadi wartawan idealnya adalah pilihan hidup. Bukan semata karena tak mendapat pekerjaan lain. Tapi ini adalah panggilan jiwa yang suci, motivasi pertama tentu untuk kepentingan publik.
Kita harus bisa membedakan mana berita yang benar penting dan layak dikonsumsi masyarakat. Bukan hanya semata yang penting (ada) berita. Jikapun telah terjalin sebuah kemitraan berupa kontrak konten iklan, advertorial, atau sejenisnya, tentu saja mestinya berada di ruang bisnis (marketing) saja, bukan turut merangsek dan mengatur dapur redaksi media kita. Bussines to bussines haruslah ideal, profesional dan proporsional, serta tentunya simbiose mutualisme (saling menguntungkan).
Konten atau materi pemberitaan pastinya juga akan menentukan tingkat kepercayaan publik. Berita yang semata menyanjung, memuja dan memuji penguasa secara membabi buta saja misalnya, akan mematahkan harapan rakyat. Pembaca jadi merasa, bahwa media kita condong bukan kepada kepentingan mereka, tetapi hanya tunduk dan patuh pada si empu kepentingan yang ber-uang. Materialistik sekali!
Dan, kepada mitra kami, baik secara personal, korporasi maupun institusi, mari bekerjasama secara ideal, dengan limitasi yang jelas. Saling menghargai satu sama lain. Pastikan Anda mendapatkan apa yang Anda pesan. Analoginya: bila Anda memesan secangkir kopi, janganlah hendak turut mengatur takaran teh punya orang lain. Apalagi jika kemudian jadi ‘latah’ mengatur-atur menu dan resep di meja barista pula. Itu keterlaluan!
Oleh karena itu, jangan intervensi wartawan (media massa). Biarkan pers sesuai ciri khasnya masing-masing, tetap dan selalu merdeka berkarya! Selamat merayakan HPN 2024: "Mengawal Transisi Kepemimpinan Nasional dan Menjaga Keutuhan Bangsa".**
_*Penulis adalah J. Sadewo, S.H.,M.H. (Wartawan sejak 2001, Pimred PALI POST – kabarpali.com, seorang praktisi hukum)*_